Partisi Ottoman Lewat Traktat Sevres, Daerah Kuning Muda adalah Daerah Ottoman
Di Abad Pertengahan, Kesultanan Ottoman merupakan salah satu negara adidaya yang wilayahnya membentang di atas tiga benua. Namun seiring berjalannya waktu, kedigdyaan Ottoman sedikit demi sedikit mulai tergerus.
Munculnya Revolusi Industri dan terbukanya jalur penjelajahan ke benua lain membuat negara-negara Eropa mulai bisa mengimbangi kedigdayaan Ottoman. Sementara dari dalam Ottoman sendiri, kesultanan raksasa tersebut dipusingkan oleh merebaknya sentimen nasionalisme di daerah-daerah kekuasaannya.
Pendirian parlemen tidak serta merta membuat keadaan Ottoman langsung membaik. Masih belum stabilnya kondisi dalam negeri pasca pendirian parlemen yang dikombinasikan dengan mewabahnya sentimen nasionalisme kedaerahan lantas berujung pada pecahnya pemberontakan di Balkan, Eropa Tenggara. Pasukan Ottoman menderita kekalahan dalam perang tersebut sehingga Ottoman harus kehilangan sebagian besar wilayahnya yang ada di Eropa pada tahun 1913. Sebelumnya, pada tahun 1911 Ottoman juga harus kehilangan wilayah Libya, Afrika Utara, akibat dicaplok oleh pasukan Italia.
Kehilangan banyak wilayah strategis dalam rentang waktu yang begitu singkat jelas tidak disukai oleh pihak Ottoman. Maka, pemerintah Ottoman pun menjalin persekutuan rahasia dengan Jerman dan Austria-Hungaria. Fokus utama dari Ottoman saat menjalin persekutuan dengan kedua negara tadi adalah Rusia, karena baik Ottoman maupun Rusia sama-sama berambisi menjadikan wilayah Kaukasus dan Balkan berada di bawah kekuasaannya. Harapannya, jika perang melawan Rusia benar-benar meletus, Jerman dan Austria-Hungaria akan membantu Ottoman di medan perang.
Dihantam dari Dalam dan Luar Negeri
Bulan Juni 1914, putra mahkota Austria-Hungaria tewas ditembak oleh ekstrimis Serbia kelahiran Bosnia, Gavrilo Princip. Bagaikan api disiram bensin, peristiwa tersebut langsung menimbulkan efek berantai yang sangat besar. Austria-Hungaria melakukan invasi militer ke wilayah Serbia sebulan sesudah peristiwa penembakan tersebut. Tindakan yang lantas direspon Rusia – negara sekutu Serbia – dengan menyatakan perang kepada Austria-Hungaria. Tak lama berselang, negara-negara Eropa lain seperti Jerman dan Perancis ikut melibatkan diri dalam perang. Sebagai akibat dari begitu banyaknya negara yang terlibat, perang yang bersangkutan di kemudian hari dikenal dengan sebutan Perang Dunia I (PD I).
Ottoman awalnya berusaha untuk tidak ikut terseret dalam PD I. Namun menyusul tindakan Ottoman yang membiarkan kapal-kapal perang Jerman menggunakan perairan lautnya, negara-negara Sekutu musuh Jerman akhirnya menyatakan perang kepada Ottoman. Di tahun-tahun awal peperangan, Ottoman yang dibantu oleh Jerman dan Austria-Hungaria masih bisa mengimbangi sepak terjang dari pasukan negara-negara Sekutu. Namun Ottoman akhirnya kewalahan karena kondisi perekonomian mereka memang sudah tidak lagi menunjang untuk mendanai perang berskala besar. Situasi makin runyam setelah orang-orang Arab dan Armenia yang ada di wilayah Ottoman melakukan pemberontakan.
Ketidakmampuan Ottoman untuk berperang lebih lama lagi memaksa Sultan Ottoman menyerah tanpa syarat dan berunding dengan perwakilan negara-negara Sekutu. Perundingan tersebut lantas menghasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai Traktat Sevres pada tanggal 10 Agustus 1920. Lewat perjanjian tersebut, pihak Sekutu membiarkan Sultan tetap menjadi penguasa Ottoman. Namun sebagai gantinya, Ottoman harus menyerahkan sebagian besar wilayahnya ke negara-negara Sekutu. Berdasarkan Traktat Sevres pula, jumlah personil militer Ottoman dibatasi dan pihak Sekutu diperbolehkan menempatkan pasukannya di Konstantinopel (sekarang bernama Istanbul) yang saat itu masih berstatus sebagai ibukota Kesultanan Ottoman.
Poin-poin dalam Traktat Sevres dianggap sebagai pelecehan terhadap harga diri bangsa Turki. Kemauan Sultan untuk menerima traktat tersebut juga membuat ia semakin kehilangan wibawa di hadapan rakyatnya sendiri. Maka, orang-orang Turki yang menentang keberadaan pasukan asing di tanah Turki mendirikan gerakan nasionalis bawah tanah di Ankara, Turki tengah, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai pemimpinnya. Untuk memperkuat diri, kelompok nasionalis Turki juga melakukan perjanjian rahasia dengan kelompok komunis Bolshevik di Rusia. Bolshevik setuju untuk menyalurkan bantuan emas dan persenjataan ke pihak Ottoman. Sebagai gantinya, kelompok nasionalis Turki akan membiarkan daerah Kaukasus menjadi milik Bolshevik jika kelompok nasionalis berhasil memenangkan perang dan menjadi penguasa baru Turki.
Dimulainya Perang Pembebsan
Bagaikan tanaman layu yang disiram air segar, bantuan logistik dari Bolshevik membuat kelompok nasionalis Turki semakin percaya diri sehingga mereka kini berani melakoni perang berskala besar melawan negara-negara Sekutu. Intensitas konflik di tanah Turki pun jadi semakin meningkat. Pasukan Sekutu memang memiliki keunggulan dalam hal jumlah personil, namun pasukan nasionalis Turki lebih unggul dalam hal semangat juang dan pemahaman akan medan konflik karena mereka berperang di tanah airnya sendiri. Modal keunggulan tersebut berhasil dimaksimalkan dengan baik oleh pasukan nasionalis Turki sehingga menjelang akhir tahun 1922, seluruh daratan Anatolia berada di bawah kendali kubu nasionalis.
Performa gemilang pasukan nasionalis Turki sukses memaksa negara-negara Sekutu untuk mengibarkan bendera putih pada tanggal 11 Oktober 1922. Terhentinya konflik bersenjata lantas dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis untuk membubarkan Kesultanan Ottoman pada tanggal 1 November 1922. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Sultan untuk menghentikan upaya pembubaran tersebut mengingat kelompok nasionalis sekarang merupakan kelompok terkuat di tanah Turki. Maka, hanya berselang 16 hari pasca keluarnya pernyataaan resmi mengenai pembubaran Kesultanan, Sultan Mehmed VI pergi meninggalkan Turki dengan menumpang kapal militer Inggris. Perginya sultan sekaligus menjadi akhir dari riwayat Kesultanan Ottoman yang sudah bertahan selama berabad-abad.
Sukses memenangkan perang dan membubarkan kesultanan, kelompok nasionalis kini terlibat perundingan dengan negara-negara Sekutu untuk menentukan masa depan Turki. Perundingan tersebut sukses menghasilkan kesepakatan baru yang bernama Traktat Lausenne pada tanggal 24 Juli 1923. Berdasarkan traktat tersebut, negara-negara Sekutu mengakui kelompok nasionalis Turki sebagai penguasa berdaulat wilayah Anatolia dan Konstantinopel. Namun selain kedua wilayah tadi, wilayah-wilayah Ottoman yang hilang seusai Perang Dunia I seperti Mesir dan Siprus status politiknya tetap tidak berubah. Alias tidak termasuk dalam wilayah Turki.
Pendirian parlemen tidak serta merta membuat keadaan Ottoman langsung membaik. Masih belum stabilnya kondisi dalam negeri pasca pendirian parlemen yang dikombinasikan dengan mewabahnya sentimen nasionalisme kedaerahan lantas berujung pada pecahnya pemberontakan di Balkan, Eropa Tenggara. Pasukan Ottoman menderita kekalahan dalam perang tersebut sehingga Ottoman harus kehilangan sebagian besar wilayahnya yang ada di Eropa pada tahun 1913. Sebelumnya, pada tahun 1911 Ottoman juga harus kehilangan wilayah Libya, Afrika Utara, akibat dicaplok oleh pasukan Italia.
Kehilangan banyak wilayah strategis dalam rentang waktu yang begitu singkat jelas tidak disukai oleh pihak Ottoman. Maka, pemerintah Ottoman pun menjalin persekutuan rahasia dengan Jerman dan Austria-Hungaria. Fokus utama dari Ottoman saat menjalin persekutuan dengan kedua negara tadi adalah Rusia, karena baik Ottoman maupun Rusia sama-sama berambisi menjadikan wilayah Kaukasus dan Balkan berada di bawah kekuasaannya. Harapannya, jika perang melawan Rusia benar-benar meletus, Jerman dan Austria-Hungaria akan membantu Ottoman di medan perang.
Dihantam dari Dalam dan Luar Negeri
Bulan Juni 1914, putra mahkota Austria-Hungaria tewas ditembak oleh ekstrimis Serbia kelahiran Bosnia, Gavrilo Princip. Bagaikan api disiram bensin, peristiwa tersebut langsung menimbulkan efek berantai yang sangat besar. Austria-Hungaria melakukan invasi militer ke wilayah Serbia sebulan sesudah peristiwa penembakan tersebut. Tindakan yang lantas direspon Rusia – negara sekutu Serbia – dengan menyatakan perang kepada Austria-Hungaria. Tak lama berselang, negara-negara Eropa lain seperti Jerman dan Perancis ikut melibatkan diri dalam perang. Sebagai akibat dari begitu banyaknya negara yang terlibat, perang yang bersangkutan di kemudian hari dikenal dengan sebutan Perang Dunia I (PD I).
Ottoman awalnya berusaha untuk tidak ikut terseret dalam PD I. Namun menyusul tindakan Ottoman yang membiarkan kapal-kapal perang Jerman menggunakan perairan lautnya, negara-negara Sekutu musuh Jerman akhirnya menyatakan perang kepada Ottoman. Di tahun-tahun awal peperangan, Ottoman yang dibantu oleh Jerman dan Austria-Hungaria masih bisa mengimbangi sepak terjang dari pasukan negara-negara Sekutu. Namun Ottoman akhirnya kewalahan karena kondisi perekonomian mereka memang sudah tidak lagi menunjang untuk mendanai perang berskala besar. Situasi makin runyam setelah orang-orang Arab dan Armenia yang ada di wilayah Ottoman melakukan pemberontakan.
Ketidakmampuan Ottoman untuk berperang lebih lama lagi memaksa Sultan Ottoman menyerah tanpa syarat dan berunding dengan perwakilan negara-negara Sekutu. Perundingan tersebut lantas menghasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai Traktat Sevres pada tanggal 10 Agustus 1920. Lewat perjanjian tersebut, pihak Sekutu membiarkan Sultan tetap menjadi penguasa Ottoman. Namun sebagai gantinya, Ottoman harus menyerahkan sebagian besar wilayahnya ke negara-negara Sekutu. Berdasarkan Traktat Sevres pula, jumlah personil militer Ottoman dibatasi dan pihak Sekutu diperbolehkan menempatkan pasukannya di Konstantinopel (sekarang bernama Istanbul) yang saat itu masih berstatus sebagai ibukota Kesultanan Ottoman.
Poin-poin dalam Traktat Sevres dianggap sebagai pelecehan terhadap harga diri bangsa Turki. Kemauan Sultan untuk menerima traktat tersebut juga membuat ia semakin kehilangan wibawa di hadapan rakyatnya sendiri. Maka, orang-orang Turki yang menentang keberadaan pasukan asing di tanah Turki mendirikan gerakan nasionalis bawah tanah di Ankara, Turki tengah, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai pemimpinnya. Untuk memperkuat diri, kelompok nasionalis Turki juga melakukan perjanjian rahasia dengan kelompok komunis Bolshevik di Rusia. Bolshevik setuju untuk menyalurkan bantuan emas dan persenjataan ke pihak Ottoman. Sebagai gantinya, kelompok nasionalis Turki akan membiarkan daerah Kaukasus menjadi milik Bolshevik jika kelompok nasionalis berhasil memenangkan perang dan menjadi penguasa baru Turki.
Dimulainya Perang Pembebsan
Bagaikan tanaman layu yang disiram air segar, bantuan logistik dari Bolshevik membuat kelompok nasionalis Turki semakin percaya diri sehingga mereka kini berani melakoni perang berskala besar melawan negara-negara Sekutu. Intensitas konflik di tanah Turki pun jadi semakin meningkat. Pasukan Sekutu memang memiliki keunggulan dalam hal jumlah personil, namun pasukan nasionalis Turki lebih unggul dalam hal semangat juang dan pemahaman akan medan konflik karena mereka berperang di tanah airnya sendiri. Modal keunggulan tersebut berhasil dimaksimalkan dengan baik oleh pasukan nasionalis Turki sehingga menjelang akhir tahun 1922, seluruh daratan Anatolia berada di bawah kendali kubu nasionalis.
Performa gemilang pasukan nasionalis Turki sukses memaksa negara-negara Sekutu untuk mengibarkan bendera putih pada tanggal 11 Oktober 1922. Terhentinya konflik bersenjata lantas dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis untuk membubarkan Kesultanan Ottoman pada tanggal 1 November 1922. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Sultan untuk menghentikan upaya pembubaran tersebut mengingat kelompok nasionalis sekarang merupakan kelompok terkuat di tanah Turki. Maka, hanya berselang 16 hari pasca keluarnya pernyataaan resmi mengenai pembubaran Kesultanan, Sultan Mehmed VI pergi meninggalkan Turki dengan menumpang kapal militer Inggris. Perginya sultan sekaligus menjadi akhir dari riwayat Kesultanan Ottoman yang sudah bertahan selama berabad-abad.
Sukses memenangkan perang dan membubarkan kesultanan, kelompok nasionalis kini terlibat perundingan dengan negara-negara Sekutu untuk menentukan masa depan Turki. Perundingan tersebut sukses menghasilkan kesepakatan baru yang bernama Traktat Lausenne pada tanggal 24 Juli 1923. Berdasarkan traktat tersebut, negara-negara Sekutu mengakui kelompok nasionalis Turki sebagai penguasa berdaulat wilayah Anatolia dan Konstantinopel. Namun selain kedua wilayah tadi, wilayah-wilayah Ottoman yang hilang seusai Perang Dunia I seperti Mesir dan Siprus status politiknya tetap tidak berubah. Alias tidak termasuk dalam wilayah Turki.
Tanggal 29 Oktober 1923 atau beberapa bulan sesudah penandatanganan Traktat Lausenne, Republik Turki secara resmi berdiri dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai presiden pertamanya. Kota Ankara yang semasa perang pembebasan menjadi basis utama dari kelompok nasionalis dijadikan ibukota negara yang baru menggantikan Konstantinopel, ibukota negara di era Ottoman. Wilayah Republik Turki dalam perkembangannya bertambah luas – walaupun tidak seluas wilayah Ottoman.
.