Pengadilan Den Haag menyatakan Belanda bertanggung jawab atas pembantaian di desa Rawagede, sekarang bernama Balongsari.
Hakim ketua D.A. Schreuder secara tegas menyebut tindakan Belanda sebagai ilegal (onrechtmatig). Keputusan ini memandang Belanda bersalah karena dianggap membunuh warga sendiri. Pengadilan mendasari putusannya atas pertimbangan bahwa hukum Belanda dianggap berlaku di Hindia Belanda sampai tahun 1949.
Hakim menolak pleidoi advokat negara Belanda, G.J.H. Houtzagers, yang menyebut kejahatan tersebut sudah kadaluwarsa. Hakim memakai asas lex spesialis. Artinya pengadilan Den Haag melihat kasus pembantaian Rawagede sebagai kasus khusus, sehingga preseden kadaluwarsa tidak berlaku.
Advokat negara diberi waktu tiga bulan untuk mengajukan banding. Jika tidak, maka keputusan ini akan memiliki kekuatan hukum tetap.
Anggota parlemen Belanda dari partai sosialis, SP, terkejut atas pertimbangan hakim.
"Biasanya argumen kadaluwarsa selalu sukses, tapi tidak dalam pengadilan perdata ini. Yang penting ternyata kejahatan perang tidak bisa kadaluwarsa. Saya pikir ini berita besar. Pertama-tama buat mereka yang terkait, terlebih ini pengakuan bagi mereka yang sudah tidak ada lagi, karena sudah meninggal atau belum bergabung dengan komite. Ini keputusan bersejarah."
Walau demikian, hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan ganti rugi. Pengadilan Den Haag membatasi pemberian kompensasi pada janda, korban langsung atau anaknya. Berarti tidak termasuk cucu korban.
Pengacara korban Rawagede, Liesbeth Zegveld tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Baru setelah 64 tahun berlalu, akhirnya Belanda secara hukum dinyatakan bersalah atas aksinya di Indonesia. Putusan ini menjadi preseden baru dan bisa saja diterapkan dalam kasus Westerling di Sulawesi.
"Selama mereka masih hidup, dan kasusnya jelas seperti kasus ini, setiap pihak mengakui terjadi kesalahan besar, terjadi kejahatan perang, maka akan dilihat apakah ini sama dengan kasus Rawagede," ujar pengacara yang juga membela korban-korban kejahatan kemanusiaan di Bosnia dan Libia.
Eksekusi
Tragedi berdarah di desa Rawagede, Jawa Barat, terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai Kapten Kustario.
Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejer dan ditembak mati. Pihak Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya “hanya” 150. Pada tahun 1947, Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan.
Pada tahun 2009 keluarga korban menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini. Sayangnya ia wafat 8 Mei 2011 dalam usia 88 tahun. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.
Penjahat
Hakim ketua D.A. Schreuder secara tegas menyebut tindakan Belanda sebagai ilegal (onrechtmatig). Keputusan ini memandang Belanda bersalah karena dianggap membunuh warga sendiri. Pengadilan mendasari putusannya atas pertimbangan bahwa hukum Belanda dianggap berlaku di Hindia Belanda sampai tahun 1949.
Hakim menolak pleidoi advokat negara Belanda, G.J.H. Houtzagers, yang menyebut kejahatan tersebut sudah kadaluwarsa. Hakim memakai asas lex spesialis. Artinya pengadilan Den Haag melihat kasus pembantaian Rawagede sebagai kasus khusus, sehingga preseden kadaluwarsa tidak berlaku.
Advokat negara diberi waktu tiga bulan untuk mengajukan banding. Jika tidak, maka keputusan ini akan memiliki kekuatan hukum tetap.
Anggota parlemen Belanda dari partai sosialis, SP, terkejut atas pertimbangan hakim.
"Biasanya argumen kadaluwarsa selalu sukses, tapi tidak dalam pengadilan perdata ini. Yang penting ternyata kejahatan perang tidak bisa kadaluwarsa. Saya pikir ini berita besar. Pertama-tama buat mereka yang terkait, terlebih ini pengakuan bagi mereka yang sudah tidak ada lagi, karena sudah meninggal atau belum bergabung dengan komite. Ini keputusan bersejarah."
Walau demikian, hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan ganti rugi. Pengadilan Den Haag membatasi pemberian kompensasi pada janda, korban langsung atau anaknya. Berarti tidak termasuk cucu korban.
Pengacara korban Rawagede, Liesbeth Zegveld tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Baru setelah 64 tahun berlalu, akhirnya Belanda secara hukum dinyatakan bersalah atas aksinya di Indonesia. Putusan ini menjadi preseden baru dan bisa saja diterapkan dalam kasus Westerling di Sulawesi.
"Selama mereka masih hidup, dan kasusnya jelas seperti kasus ini, setiap pihak mengakui terjadi kesalahan besar, terjadi kejahatan perang, maka akan dilihat apakah ini sama dengan kasus Rawagede," ujar pengacara yang juga membela korban-korban kejahatan kemanusiaan di Bosnia dan Libia.
Eksekusi
Tragedi berdarah di desa Rawagede, Jawa Barat, terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai Kapten Kustario.
Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejer dan ditembak mati. Pihak Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya “hanya” 150. Pada tahun 1947, Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan.
Pada tahun 2009 keluarga korban menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini. Sayangnya ia wafat 8 Mei 2011 dalam usia 88 tahun. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.
Penjahat
Selama ini Belanda menganggap dirinya korban kejahatan Nazi Jerman, dan kekejaman tentara Jepang di Hindia Belanda saat Perang Dunia Kedua. Keputusan pengadilan Den Haag membuat Belanda punya status baru: pelaku kejahatan perang yang tak kalah kejamnya.
"Sekarang ternyata bukan Jerman saja si penjahat perang. Belanda pun kini dinyatakan sebagai penjahat," tukas seorang wartawan luar negeri yang asyik membuat cerita kasus Rawagede di pengadilan Den Haag.
KBRI Den Haag belum mau menanggapi keputusan ini. Sebelumnya pemerintah Indonesia terkesan menjaga jarak dengan proses gugatan korban rawagede. Perwakilan resmi KBRI tak terlihat hadir dalam sidang keputusan gugatan korban Rawagede.
Sumber: http://www.rnw.nl
.