Minggu, 01 Desember 2013

Pasukan Londo Ireng



Serdadu Afrika diandalkan dalam Perang Padri hingga Perang Aceh.

Sekitar tahun 1910, Oerip Soemohardjo, kelak menjadi kepala staf pertama Tentara Keamanan Rakyat pada 1945 –menjadi Tentara Nasional Indonesia pada 1947 – mendapat cemoohan dari para pemuda Afrika yang tinggal di Purworejo, kalau bahasa Belanda Oerip jelek. Sementara para pemuda Afrika hampir semuanya bicara bahasa Belanda dengan benar dan tanpa aksen.

Tak terima, Oerip yang berusia 17 tahun memanggil pasukan ciliknya dari Sindurejan (permukiman pribumi di Purworejo) untuk menyerang para pemuda Afrika saat senja sembari berteriak: “Londo ireng toenteng, iroenge mentol, soearane bindeng!” (Belanda hitam keling, hidungnya besar, suaranya bindeng). Beberapa kali ayah Oerip dipanggil kepala desa. Dia berjanji akan memarahi anaknya dengan syarat para pemuda Afrika tak lagi mengejek cara bicara anaknya.

Para veteran Afrika yang selesai bertugas, awalnya tinggal di sejumlah kampung bersama orang-orang Jawa. Ketika jumlahnya bertambah, residen daerah memutuskan membentuk kawasan tersendiri bagi mereka, demi menghindari “perselisihan dengan penduduk pribumi”. Selain itu, Belanda akan mudah mengawasi dan memanggil mereka ketika keadaan tidak tenang. Untuk membangun kampung Afrika, sesuai Keputusan Gubernemen tanggal 30 Agustus 1859 No. 25, Gubernemen Belanda membeli sebidang tanah di Desa Pangenjurutengah. Setiap penghuni memperoleh sebidang tanah sekitar 1.150 m2 untuk rumah atau lahan garapan.

Pada 20 Juni 1939, Letnan Doris Land, seorang pensiunan Afrika, menorehkan tandatangannya di bawah baris terakhir naskah berjudul Het ontstaan van de Afrikaansch kampong te Poerworedjo (Munculnya Kampung Afrika di Purworejo). Kelak, dia mencoret beberapa huruf di akhir kata “kampung” sehingga membentuk kata “kamp”, karena “kampung” mungkin dianggapnya “kampungan”.

Dokumen empat halaman itu merupakan satu-satunya peninggalan seorang Indo-Afrika. Isinya memuat sejarah serdadu Afrika dan keturunannya. Menariknya, semasa hidupnya Doris tak membagikan sejarah dengan siapa pun, termasuk kepada tujuh anaknya. Baru setelah dia meninggal dunia pada 1986, dokumen itu ditemukan dalam koper tua yang hampir dibuang ke tempat sampah. Terkuaklah petualangan serdadu Afrika di Hindia Belanda.

Selain dokumen tersebut, sejarawan, wartawan, dan peneliti senior di Africa Studies Centre Leiden Belanda, Ineke van Kessel, mendapat limpahan setumpuk berkas penelitian tentang serdadu Afrika di Jawa dari sejarawan Universitas Amsterdam Dr Silvia de Groot. Van Kessel juga melakukan wawancara dengan keturunan-keturunan serdadu Afrika di Jawa yang biasa reunian setiap dua tahun sekali di Belanda. Pada 2005, van Kessel menerbitkan bukunya: Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië (Belanda Hitam: Serdadu Afrika di Hindia Belanda).

Penggunaan serdadu Afrika sudah dilakukan dalam rentang waktu lama, dan bukan hanya di Hindia Belanda. Seperti disebutkan Van Kessel, di Kerajaan Romawi terdapat seorang serdadu yang dijuluki St. Mauricius, pemimpin legiun Theban. Sejak abad ke-9, dinasti-dinasti Islam di Afrika Utara dan Spanyol menggunakan serdadu Afrika, seperti Dinasti Alawi di Maroko –bahkan Sultan Alawai kedua Mulay Ismail adalah putra dari seorang gundik berkulit hitam.

Portugis menempatkan serdadu Afrika dari Mozambik dan Ethiopia di Timor Timur dan Sri Lanka. Pada 1640, sekitar seratus pemanah berkulit hitam bertempur bersama Portugis melawan Belanda. Pada tahun yang sama Gubernur Belanda di Sri Lanka Rijkloff van Goens membutuhkan 4.000 orang kulit hitam untuk bekerja kepada VOC, bahkan VOC mendatangkan para budak hitam baru dari Madagaskar dan bagian selatan Afrika.

Pada 1875, Prancis membentuk Serdadu Senegal Bersenjata (De Tiraileurs Sénégalais), dan Inggris membetuk Gold Coast Corps pada 1851 dan West India Regiments, yang ditempatkan di Hindia Barat dan Afrika Barat. Pada dua Perang Dunia, ratusan ribu serdadu Afrika bertempur dengan tentara Prancis dan Inggris. Prancis juga mengerahkan pasukan Afrika di Indocina dan dalam perang kemerdekaan Aljazair.


“Perang Jawa menuntut dilakukannya perekrutan intensif,” tulis Van Kessel.


Semula, konsul-konsul Belanda di Hamburg, Bremen, dan Frankfurt mengumpulkan ribuan relawan Jerman. Pada 1827, korps elite berkekuatan 3.000 orang berangkat dari Belanda ke Jawa. Mereka harus menyelesaikan perang yang berlarut-larut. Setelah dua tahun berperang, yang tersisa kurang dari 1.000 orang. Tak mengherankan jika saran menggunakan orang Afrika mendapat tanggapan simpatik di Den Haag. Serdadu Afrika dianggap tahan banting dan tahan penyakit di iklim tropis, juga cenderung lambat berbaur dengan penduduk sehingga menjadikan kesatuan tentara sebagai pengganti keluarga.


Usulan datang dari kalangan swasta: seorang mayor Inggris, seorang bangsawan Jerman, dan ketua Nederlansche Handelmaatschappij. Usul tersebut diterima Kementerian Urusan Perang dan Kementerian Daerah Jajahan. Pada 1831-1872, Belanda merekrut sekitar 3.085 laki-laki di Afrika Barat, sebagian besar berasal dari Elmina (sekarang Ghana) dan Burkina Faso.

Tapi para serdadu Afrika tak ikut dalam Perang Jawa. Mereka tiba di Jawa sekitar tahun 1831, setelah Perang Jawa usai. Pengalaman perang pertama diperoleh 44 serdadu Afrika untuk memadamkan pemberontakan di Distrik Lampung yang dipimpin oleh Raja Gepe. Di Padang, serdadu Afrika yang membentuk kompi ke-6 Batalyon Infanteri 1 menduduki Bonjol setelah perang selama lima tahun. Serdadu Afrika juga ikut dalam ekspedisi di Bali untuk menundukkan raja-raja Bali, berjaga di garis belakang dan dari serangan dengan senjata bayonet di Timor, serta ekspedisi ke Banjarmasin, sebelah tenggara Borneo (Kalimantan).

Pada 1859, kompi Afrika Batalyon Infanteri 2 ikut dalam ekspedisi ke Bone, Celebes (Sulawesi), menggantikan serdadu-serdadu Eropa yang dievakuasi karena kerap jatuh sakit. Hingga Juni 1859, meski diserang penyakit disentri, kolera, tifus, dan malaria, kompi Afrika hanya kehilangan empat orang. Di Aceh sebaliknya. Dua kompi serdadu Afrika yang dilibatkan dalam ekspedisi besar-besaran kedua ikut berkontribusi atas keberhasilan menundukkan Sultan Aceh tanpa perlawanan. Bahkan tak seorang pun serdadu Afrika mati di medan perang –hanya satu yang mati karena terluka saat diungsikan. Tapi, 78 serdadu atau sepertiga dari seluruh serdadu Afrika tewas karena kolera.

Pemilihan Purworejo (disebut Kedong Kebo) sebagai tempat menampung para veteran Afrika bukanlah kebetulan. Bagelan pernah menjadi pusat perlawanan Perang Jawa. Mendirikan sebuah koloni para veteran Afrika merupakan strategi Belanda untuk menjinakkan pemberontakan yang dikhawatirkan terjadi lagi.

Usai Perang Jawa pada 1830 pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah tangsi besar di Purworejo. Di sana ditempatkan tiga kompi pasukan Afrika, yang ironisnya pada 1840 membuat panik pemerintah lantaran melakukan pemberontakan bersenjata. Beberapa kali serdadu Afrika melakukan pemberontakan karena masalah adaptasi, kesetaraan dengan serdadu Eropa, dan komunikasi di kalangan prajurit Afrika sendiri, yang terdiri dari berbagai suku dengan bahasa berbeda. Selain itu, para serdadu Afrika suka bersikap negatif: jorok, lamban dalam mempelajari senjata, malas, brutal, cepat naik darah, sulit diperintah, cenderung memberontak, padahal mereka prajurit yang tak kenal lelah dan berani.

Banyak keturunan para serdadu Afrika mengikuti jejak ayahnya. Generasi kedua dan ketiga Indo-Afrika terlibat dalam perang melawan Jepang. Mereka merasakan nasib buruk di dalam kamp tawanan dan proyek-proyek Jepang. Setelah Indonesia merdeka, beberapa serdadu Afrika menetap di Indonesia.

Tak mudah bagi mereka menjalin hubungan dengan penduduk pribumi. Mereka kerap merasa lebih tinggi statusnya ketimbang warga pribumi. Pintu gerbang kamp Afrika di Purworejo ditutup pukul 06.00 pagi hingga 06.00 sore. Orang Afrika hidup terasing dan hanya berkomunikasi dengan orang Indonesia saat merasa butuh. Keturunan-keturunan Afrika di Belanda membantah bahwa tak ada pagar dan gapura dalam kamp Afrika. Cerita mengenai pagar barangkali menjadi ungkapan simbolis jarak sosial dengan orang Indonesia saat berkomunikasi dengan orang Afrika.

Orang Indonesia memiliki rasa segan terhadap “Belanda Hitam”. Di sisi lain, mereka juga merendahkan. Rambut orang Afrika yang kriwil diejek “rambut setan”. Karena penghuninya berkulit hitam, kamp Afrika kerap disebut “gudang arang.”

Karena inilah mungkin sebagian besar serdadu Afrika memilih kembali ke Belanda. “Saya orang Belanda, saya tak mau menjadi orang Indonesia,” kata mereka. Sayangnya, orang Belanda –juga orang Indonesia– tak mau mengakuinya. Mereka pun harus puas dengan sebutan Belanda Hitam. [HENDRI F. ISNAENI]





Sumber: http://www.majalah-historia.com
.